Ini saatnya PT Toba Pulp Lestari memegang janjinya

By Brihannala Morgan

PT Toba Pulp Lestari (TPL) adalah perusahaan bubur kertas (pulp) dan kertas di wilayah Danau Toba, Sumatera Utara, Indonesia. Perusahaan pulp raksasa ini berafiliasi dengan grup Royal Golden Eagle dan APRIL (perusahaan pulp dan kertas Indonesia terbesar kedua) dan sebagian besar dimiliki oleh taipan Indonesia, Sukanto Tanoto. Danau Toba, letak konsesi PT TPL ini, merupakan wilayah masyarakat adat Batak yang mereka tempati secara turun temurun. Masyarakat Batak telah bertani dan mengelola hutan di wilayah ini selama lebih dari 13 generasi melalui rangkaian hak adat, tradisi dan aturan komunal dan perorangan yang kompleks. Bagi masyarakat Batak, sebagaimana berlaku pada banyak masyarakat adat dan masyarakat baris depan lainnya, hutan telah dan terus menyediakan sumber air bersih dan tempat berlindung, obat-obatan, sumber pangan dan mata pencaharian. Banyak masyarakat Batak juga membudidayakan dan menanam pohon Kemenyan (Styrax benzoin), yaitu pohon penghasil getah yang harum. Getah kemenyan dijual ke pasar internasional dan penghasilannya membantu banyak petani membayar biaya sekolah, perjalanan, dan kesehatan anak mereka, bahkan menyekolahkan anak hingga bangku kuliah.

Kid_on_lumber_800.jpg Kehidupan di baris depan deforestasi di Desa Aek Lung, Sumatera Utara, Indonesia. Foto PT Toba Pulp Lestari (TPL) menebang pohon eukaliptus di tanah yang dimiliki secara tradisional oleh masyarakat adat Batak tanpa izin mereka. Telusuri lebih lanjut

Walaupun hak adat atas tanah telah diakui oleh masyarakat Batak selama bertahun-tahun, hak tersebut belum diakui dalam sejarah Pemerintah Indonesia. Pada awal tahun 1980an, saat itu Departemen Kehutanan Indonesia memberikan tanah adat Batak sebagai bagian dari konsesi untuk PT Inti Indorayon Utama, yang kemudian berubah nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Saat PT TPL membuka lahannya, mereka juga menghancurkan hutan, ladang dan hutan kemenyan yang luas. Saat hutan alam ditebang habis dan diubah menjadi hutan tanaman industri (HTI), tanaman eukaliptus yang rakus air mengeringkan sungai di sekitarnya dan menyebabkan berbagai dampak sosial dan lingkungan negatif.

DSC08559.jpg Ibu Timura br. Siregor, seorang perempuan Batak memanjat pohon kemenyan untuk menyadap getah kemenyan secara berkelanjutan di Nagasaribu, Sumatera Utara. Telusuri lebih lanjut

Lebih dari 20 komunitas, dengan lebih dari 3.000 keluarga dan lebih dari 25.000 ha hutan dan lahan yang mereka klaim, terkena dampak perluasan PT TPL dan berada di tengah konflik berlanjut dengan perusahaan. Banyak diantara komunitas tersebut mengambil tindakan melindungi atau merebut kembali lahan mereka. Pada tahun 2009 dan juga pada tahun 2013 masyarakat Pandumaan-Sipituhuta bertindak saat mereka mengetahui pekerja PT TPL sedang membuka hutan kemenyan masyarakat dan melakukan perluasan HTI di tanah adat. Sekitar 250 warga datang berunjuk rasa dan menyita gergaji mesin yang digunakan. PT TPL memanggil Brimob yang tiba pada tengah malam. Mereka mengancam warga dengan menggunakan senapan dan menggeledah rumah penduduk yang sedang tidur. Masyarakat dipukuli dengan tongkat dan bahkan penduduk lansia juga turut menjadi korban. Polisi menahan 31 petani. Lima belas diantaranya kemudian dibebaskan, sedangkan 16 lainnya ditahan selama 2 pekan. Ratusan warga berdemo di luar gedung polisi sampai para petani dibebaskan.

DSC08762.jpg “Kami selalu ditakut-takuti PT Toba Pulp Lestari (TPL) ketika kami bekerja di ladang kami” – Kristina Boru Hutabarat berladang di lahan milik masyarakat di Aek Lung, Sumatera Utara, Indonesia. Telusuri lebih lanjut

Pada tahun 2014, LSM internasional Rainforest Action Network (RAN) dan Canopy mulai memprofilkan kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM terkait dengan PT Toba Pulp Lestari dan rantai produksinya mengolah pulp yang digunakan untuk membuat kain viscose, rayon, dan serat selulosa buatan lainnya. Kekhawatiran yang semakin besar dari perusahaan merek fashion terhadap risiko kerusakan hutan dan pelanggaran HAM dalam rantai pasok mereka menyebabkan lebih dari 100 merek dan 8 perusahaan manufaktur viscose berkomitmen meniadakan risiko tersebut dari rantai pasoknya, termasuk diantaranya (pada beberapa kasus) bahkan menangguhkan bisnis mereka dengan PT TPL. Dengan tekanan pasar yang semakin meningkat, PT TPL dan perusahaan terafiliasi mengadopsi kebijakan ‘Nol deforestasi, nol eksploitasi, nol gambut’ pada tahun 2015. Kebijakan ini mengikat PT TPL, perusahaan satu induknya yaitu APRIL serta Royal Golden Eagle untuk menghentikan kerusakan hutan dan perluasan di hutan dan lahan gambut, mengupayakan perolehan persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan dari masyarakat, dan menangani konflik sosial.

DSC07695.jpg Pabrik pulp PT Toba Pulp Lestari (TPL) merupakan sumber utama polusi udara dan air yang telah menyebabkan penyakit di masyarakat sekitar selama 30 tahun terakhir. Telusuri lebih lanjut

Walaupun sebagian besar aktivitas pembukaan dan konversi hutan alam telah dihentikan, komitmen kebijakan di atas kertas masih belum memadai dalam menanggapi kerugian dan keluhan yang terus dialami masyarakat Batak. Masyarakat Batak di Desa Aek Lung, Op Bolus, Nagahulambu, Nagasaribu dan masih banyak desa lainnya terus berjuang agar lahan mereka dikeluarkan dari wilayah konsesi PT TPL dan agar hak mereka dihormati. Foto dan hasil wawancara di BeyondPaperPromises.org menggambarkan isu berlanjut yang dihadapi oleh masyarakat tersebut.DSC08821.jpg

“Tanah ini adalah kehidupan kami.” – Rentina Boru Nababan di Aek Lung, Sumatera Utara, Indonesia. Telusuri lebih lanjut

Pada bulan Desember 2016 tercapai keberhasilan cukup baik setelah masyarakat baris depan melakukan kampanye selama puluhan tahun, didukung oleh berbagai LSM (terutama oleh LSM lokal Kelompok Studi Pengembangan dan Prakarsa Masyarakat/KSPPM dan organisasi masyarakat sipil nasional seperti AMAN). Presiden Indonesia Bapak Joko Widodo dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan 5.100 ha lahan adat Pandumaan-Sipituhuta dari wilayah konsesi PT TPL. Presiden mengakui lahan tersebut, beserta tanah delapan masyarakat adat lainnya di Indonesia, sebagai tanah adat. Akan tetapi banyak yang masih harus dilakukan. Masih ada setidaknya 18 komunitas lainnya yang berjuang mendapatkan lahan mereka kembali dari perusahaan.

Klik disini untuk menuntut PT TPL memegang janjinya dan mengambil langkah nyata memastikan bahwa budaya dan hak masyarakat adat Batak dihormati, dan lahan yang menjadi tumpuan mereka dikembalikan, serta kerugian yang mereka telah alami diperbaiki.