Masyarakat Adat di Indonesia sedang memperjuangkan wilayah adatnya — perjuangan mereka menjadi kunci dalam upaya menjaga kelestarian hutan.

Read this article in English >>
Read this page is Japanese >>

Hutan Indonesia memiliki peran yang kritis dalam melawan perubahan iklim dan krisis kepunahan global. Masyarakat adat yang bergantung pada hutan dan melawan kerusakan di garda depan memerlukan dukungan kita.

Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria di Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia telah menelusuri asal-usul mereka hingga 125 tahun yang lalu ketika tiga Marga Batak, yaitu Sitanggang, Simbolon dan Lumban Gaol, berpindah ke Kawasan Danau Toba yang sekarang mereka tinggali pada masa penjajahan Belanda. Mereka diberi lahan oleh penguasa Partuan Nahoda Raja dengan janji untuk tidak akan pernah mengalihkan hak atas lahan tersebut. Perjanjian ini melekatkan hak ulayat Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria kepada wilayah adat tersebut. Hak ulayat adalah hak masyarakat adat yang dilindungi oleh konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria di Indonesia. yang berarti lahan tersebut menjadi hak ulayat Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria dan diatur melalui peraturan adat.

Wilayah adat Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria terbentang seluas 1.763 hektar yang sebagian besar berupa hutan dengan batas alam yang ditandai dua sungai, yaitu Aek Sihulihap dan Aek Simonggo, dan tumbuhnya tanaman-tanaman tertentu. Hutan adat Pargamanan Bintang Maria berperan penting terhadap kelestarian kedua sungai tersebut, memastikan sumber mata air yang bersih dan berlimpah tersedia untuk masyarakat yang tinggal di hilir.

Eva Junita Lumban Gaol, Pengurus Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria
“Hutan adat Pargamanan Bintang-Maria begitu penting bagi masyarakat di sekitar sini karena menjadi sumber kehidupan, nafkah untuk sekolah anak-anak, untuk adat, dan untuk segalanya, bagi masyarakat Pargamanan Bintang-Maria. Menurut orang tua kami sekarang ini generasi ke-5, bahwa sudah dari dulu, dan sudah lama kemenyan adalah sebagai nafkah atau menjadi sumber kehidupan masyarakat Pargamanan Bintang-Maria.”

 

Masyarakat Adat Batak Toba turun-temurun hidup bergantung pada hutan – mengambil buah-buahan dan sayur-sayuran, berburu, dan secara tradisional memanen getah pohon kemenyan yang khas di daerah tersebut, yang kemudian mereka tukar dan jual untuk barang-barang kebutuhan lain. Getah kemenyan banyak digunakan dalam parfum, dupa, obat dan sebagai perasa makananan. Hutan kemenyan (Tombak Haminjon dalam bahasa Batak) ini memiliki fungsi spiritual, sosial ekonomi dan ekologis bagi Masyarakat Adat Batak di sekitar Kawasan Danau Toba.

A community member climbs a Kemenyan tree to sustainably harvest its sap.
Salah satu warga Pargamanan-Bintang Maria memanjat pohon kemenyan untuk memanen getahnya yang secara tradisional sangat berharga
Community members plant rice on their paddy field
Warga Pargamanan-Bintang Maria menanam padi di ladang mereka
Aerial view of the community’s rice paddies and other crops that border the community’s customary forest.
Wilayah perladangan Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria yang berbatasan dengan hutan adat mereka dari tampak atas

 

Hutan adat Pargamanan-Bintang Maria, mata pencaharian, dan hidup mereka kini terancam sementara mereka masih menunggu pengakuan negara atas wilayah adat dan hutan adat mereka.

Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria adalah salah satu dari setidaknya 23 kelompok Masyarakat Adat Batak Toba yang berkonflik dengan perusahaan pulp dan kertas PT. Toba Pulp Lestari (TPL) atas pembangunan yang dilakukan perusahaan di lahan mereka.

Pada awal tahun 1980-an, Kementerian Kehutanan Indonesia menerbitkan izin usaha diatas wilayah adat Masyarakat Adat Batak Toba sebagai bagian dari konsesi yang diberikan kepada perusahaan bernama PT. Inti Indorayon Utama (IIU), yang kemudian berubah nama menjadi PT. Toba Pulp Lestari (TPL). Saat TPL membuka lahan, mereka menghancurkan hutan, lahan pertanian, dan hutan kemenyan milik Masyarakat Adat. Menurut masyarakat, pohon-pohon berumur ratusan tahun berdiameter hingga 3 meter ditebangi waktu itu. Seiring dengan penggundulan hutan alam dan konversi menjadi hutan tanaman industri (HTI), penanaman pohon eukaliptus yang membutuhkan banyak air telah mengeringkan sungai-sungai setempat dan menyebabkan berbagai dampak negatif sosial dan lingkungan lainnya.

Delima Silalahi, Direktur Program Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM)
“Pada tahun 80an-90an, sampai ’98 banyak perlawanan yang dilakukan masyarakat khususnya di Toba terhadap TPL. Itu gerakan sosial yang terbangun saat itu berhasil menutup TPL sementara pada masa pemerintahan Habibie, namun kemudian Megawati membuka kembali dengan paradigma barunya. Sejak [saat itu], TPL sudah banyak intimidasi dan kriminalisasi [masyarakat adat] yang dilakukan TPL di wilayah konsesi. [Di masyarakat adat yang lain] ada yang dijadikan tersangka 24 orang dan yang ditangkap lebih dari 40 orang. Ada banyak kriminalisasi baik melalui surat intimidasi, melarang komunitas melakukan kegiatan di ladangnya, [dan] mencabuti tanaman warga.”

 

23 kelompok Masyarakat Adat Batak Toba, termasuk Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria, dan kelompok masyarakat sipil lainnya telah bersatu di bawah Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL dan menuntut pengembalian wilayah adat mereka. Gerakan mereka berhasil menutup PT. Inti Indorayon Utama pada 1999, tetapi perusahaan itu datang kembali. Masyarakat Adat Batak Toba dan masyarakat sipil, saat ini tengah berjuang dan mendesak pemerintah untuk menutup TPL secara permanen.

Rajes Sitanggang, Raja Huta (Kepala Adat) Pargamanan-Bintang Maria
Tuntutan kami ke TPL sudah lah kalau di wilayah adat kami ga usah dimasukin. Sudah lah kalau ada pun kasih tanahnya sudah lah disana lah itu. Kalau di wilayah adat kami ga usah lah. Kami sampai kapan pun tanah adat kami akan kami kelola dengan baik sesuai dengan leluhur kami. Itu lah pedoman pada semua masyarakat adat di sini. Lebih tahu kami pengelolanya hutan kami, ga tahu orang [lain] bagaimana caranya. Kami yang pasti tahu, kami yang merasakan akibatnya. Bukan mereka. Kami yang merasakan akibatnya, bukan entah siapa. Kami juga yang dapat, memanfaatkan hasilnya. Kami yang rasain, bukan entah siapa. Jadi sama TPL sudah lah. Kalau di lokasi wilayah tanah adat kami, kami lah yang pengelolanya. Siapa pun ga boleh di sini ga ada jual beli, siapa mau bikin rumah oke bebas tanpa surat, tapi dijual ga boleh. Bikin kebun silakan bikin kebun. Ga dijual. Kalau dijual sudah banyak uangku, aku sebagai raja huta. Aku lah pemula kampung di sini. Nenek saya lah pemula kampung di sini. Walaupun nanti aku mati sampai kapan pun itu tetap sama anak saya, turun temurun, ga boleh dipindahkan.”

PT. Toba Pulp Lestari, perusahaan pulp yang terkenal melanggar hak masyarakat.

Pabrik pulp PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL) di Porsea, Sumatera Utara

PT. Toba Pulp Lestari (TPL) adalah perusahaan pulp dan kertas yang beroperasi di Kawasan Danau Toba, Sumatera Utara, Indonesia. Raksasa pulp ini terhubung dengan grup Royal Golden Eagle (RGE) melalui salah satu taipan Indonesia, yang juga pendiri, pemilik dan ketua RGE Group, Sukanto Tanoto. Meskipun Sukanto Tanoto terhubung dengan TPL, TPL menyangkal bahwa mereka adalah bagian dari RGE Group.

RGE adalah salah satu dari 10 agribisnis yang disebutkan dalam laporan Keep Forest Standing yang mengungkap perusahaan dan bank terbesar yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak dan deforestasi.

Pembangunan di wilayah adat tanpa Persetujuan Atas Dasar Informasi Diwal Tanpa Paksaan (PADIATAPA).

Ketika TPL mulai menghancurkan hutan-hutan di wilayah adat Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria sekitar tahun 2003, masyarakat tidak dikonsultasikan dan sama sekali tidak diinformasikan tentang rencana pembangunan HTI tersebut. Saat itu, kegiatan TPL selalu dikawal aparat keamanan dan aparat hukum setempat – sebuah bentuk intimidasi yang nyata untuk meredam Masyarakat Adat yang tidak setuju. Warga juga diintimidasi oleh orang yang diduga karyawan TPL, yang mengatakan kepada mereka “dengan atau tanpa persetujuan Anda, kami akan membuka hutan”.

Lebih dari 40 persen wilayah adat Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria kini berada dalam konsesi TPL, dimana hampir sepertiganya sudah dikembangkan menjadi HTI. Sisanya terancam untuk areal pengembangan, yang setiap saat dapat TPL lakukan.. Meskipun beberapa warga telah menerima tawaran kerjasama dari TPL; ini tidak serta merta bisa dijadikan dasar untuk membuka hutan adat tanpa persetujuan dari Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria. Mayoritas Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria jelas menolak pembangunan HTI oleh TPL di lahan mereka.

Konsesi PT. TPL di Sektor Tele, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara yang ditanami eukaliptus berbatasan dengan hutan adat masyarakat.

Pemerintah Indonesia pada bulan Oktober 2021 telah menindaklanjuti tuntutan dari Aliansi Gerak Tutup TPL dengan melakukan verifikasi terhadap wilayah adat milik 18 Masyarakat Adat Batak Toba yang tumpang tindih dengan konsesi PT. TPL. Ini merupakan perkembangan yang baik menuju pengakuan legal terhadap wilayah adat termasuk hutan adat didalamnya milik Masyarakat Adat Batak Toba dan diharapkan dapat menyelesaikan konflik lahan dengan PT. TPL. Meski demikian, Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria bukan salah satu dari komunitas yang diverifikasi dan wilayah adat dan hutan adatnya masih terancam. Kami mendesak agar PT. TPL menghormati hak seluruh Masyarakat Adat yang terdampak dari konsesinya, termasuk Masyarakat Adat yang masih menanti pengakuan wilayah adat dan hutan adatnya seperti Pargamanan-Bintang Maria.  

Perlawanan Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria diabaikan oleh Grup RGE sebagaimana yang diklaim oleh PT. TPL bahwa perusahaan telah menyelesaikan konflik dengan Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria dan telah mencapai kesepakatan untuk mengakhiri perselisihan pada tanggal 9 September 2019. PT. TPL juga terus menolak keterlibatannya dalam tindakan kekerasan terhadap Masyarakat Adat Batak Toba semenjak tahun 1998.

Pada bulan Oktober 2021, Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria melaporkan bahwa kesepakatan pada tahun 2009 yang disebut oleh PT. TPL merupakan respon perusahaan terhadap protes yang dilakukan Masyarakat Adat atas penebangan yang dilakukan perusahaan pada saat itu dan merupakan lokasi yang berbeda dengan yang sedang diperjuangkan saat ini sehingga persoalan tumpang tindih wilayah adat (termasuk hutan hutan adat didalamnya) dengan konsesi PT. TPL masih belum terselesaikan. 

Aliansi Gerak Tutup TPL menyerukan solidaritas, akankah Anda menjawab panggilan ini?

Shutdown PT. TPL and Give Back Customary Land to Indigenous Peoples in the Lake Toba Area

Bersama-sama kita dapat menghentikan deforestasi dan memerangi perubahan iklim dengan bergabung dalam perjuangan Masyarakat Adat untuk wilayah adat mereka.

RAN berkomitmen pada Prinsip Jemez dan kami mengikuti kepemimpinan adat dalam gerakan hak tanah ini. Untuk memerangi perubahan iklim dan menghentikan deforestasi, wilayah adat harus dikembalikan kepada Masyarakat Adat.